Selasa, 12 April 2011

I see your love in her eye (created by Yurike Kaunang)

I SEE YOUR LOVE IN HER EYE
Aku melihat kepedihan terpancar diwajahnya, terlebih dimatanya, dimata coklatnya.Mata itu.Mata yang aku cintai.Mata yang membuat aku tidak menginginkan untuk menyakitinya. Meski senyum terukir dibibirnya, aku merasakan rasa berat yang ia pendam. Aku tahu dia tidak menginginkan aku untuk pergi dan dia tahu aku tidak ingin meninggalkannya. Namun ini untuk masa depanku dan untuk kebahagian orang lain yang aku cintai. Apa yang harus aku lakukan? Memeluknya?Menciumnya?Mengatakan aku mencintainya? Tidak! Terlalu cepat untukku.Terlalu cepat untuk anak berumur 6 tahun.Tapi aku yakin dia tahu itu.Aku yakin dia cinta aku meski saat ini belum saatnya.Aku tahu itu.Bibirku memberikan senyuman pahit tanda tak mau berpisah. Aku tak kuasa menahan rasa ini, aku ingin memeluknya… Dan tanpa bisa ku cegah, kedua tanganku merangkulnya.Mendekapnya dalam pelukanku. Aku merasakan ia juga memelukku. Ia tidak ingin aku pergi.
“Kamu nggak usah takut, Putri Kecilku. Aku akan kembali. Aku akan kembalil buat kamu. Karena aku sayang sama kamu. Tapi kamu janji kan mau nunggu aku?” tanyaku dibalik telinganya.
“Tentu, Lan. Aku pasti akan selalu menunggu kamu. Jangan kecewakan aku ya, Lan.” Jawabnya.
Aku melepaskan pelukanku kemudian memegang tangannya.“Aku janji Putri Kecilku.”Kataku bersumpah padanya. Pada Putri Kecilku. Padanya, pada Erika.“Aku pergi dulu, ya.”Aku beranjak meninggalkannya.Ia diam seribu bahasa.
“Alan!” Erika menyebut namaku dalam keheningan itu.Aku berbalik dan menghadapkan wajahku untuk menatap mata coklatnya sekali lagi.
“Aku sedih kita harus berpisah dihari istimewa ini.Dihari ulang tahun kamu.Maaf, aku hanya punya ini untukmu. Aku harap kamu suka.” Ujar Erika. Ia memberikan sebuah kotak persegi yang dihias motif bunga cerah dan diikat sebuah pita merah jambu muda. Aku menerimanya dengan senang hati dan dengan rasa berat hati karena harus meninggalkannya.Kali ini aku yang terdiam.Speechless.Kemudian aku masuk kedalam mobil.
Tapi aku terpancing untuk berkata, “Jaga diri kamu baik-baik, Erika!” teriakku dari dalam mobil.Erika membisu.Kali ini Ia yang terdiam lagi. Tidak mengatakan sepatah katapun bahkan ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan lebih jauh darinya.
“AKU SAYANG KAMU, ALAN!” Erika berteriak.Mustahil bagiku untuk mendengarnya dari kejauhan.Tapi hatiku tertinggal disana.Begitupun telingaku.Begitupun mataku.Aku masih merasakannya.Aku masih mendengarnya berteriak. Berkata ia menyayangiku. Aku masih melihatnya.Masih melihat tubuh mungilnya, rambut hitamnya, bibir kecilnya, dan… mata coklatnya.Aku belum sepenuhnya merelakan perpisahan ini.
***
15 tahun kemudian…
“Terima kasih, Alan.”
“Sama-sama.Itu tugasku.Kamu tidak perlu berterima kasih.Aku tulus padamu.”Kataku padanya.
Indri.Itulah namanya.Gadis yang selama 4 tahun ini menemani hari-hariku.Aku mencintainya.Tidak pernah terpikir olehku untuk mempermainkannya meskipun dengan keterbatasannya yang membuat banyak orang berpikir dia hidup hanya untuk dipermainkan.Ya.Indri buta.Pertama kali aku bertemu Indri adalah saat SMA.Ia tidak sekolah disekolah yang sama denganku. Melainkan dengan pekerjaan papanya yang adalah seorang direktur diperusahaan keluarganya, mamanya yang merupakan rektor disebuah universitas terkenal di Jakarta, dan kekayaan keluarganya yang tidak akan habis sampai keturunan ke 50, bukan perkara besar untuk menyekolahkan Indri dengan keterbatasannya itu. Indri bersekolah home-schooling khusus anak-anak tuna netra.Saat itu, Indri sering melewati sekolahku setiap siang hari.Aku melihatnya duduk santai didalam mobilnya, memakai kacamata hitam, dan dengan cueknya menghadap kedepan.Rasa penasaranku bertambah ketika dengan sengaja aku mengikutinya sampai kerumahnya.Dua hari setelah kejadian itu, aku dan Indri saling kenal. Setelah 2 bulan berkenalan dan berteman---tentu aku sudah mengetahui bahwa Ia mengenakan kacamata karena ia buta---akhirnya aku menyatakan cinta padanya. Aku menginginkannya untuk menjadi pacarku.Ia menerimaku dengan senang hati. Sempat satu kali Ia bertanya kepadaku apakah aku benar-benar menyayanginya atau aku hanya mempermainkannya. Namun dengan lancar aku menjawab, aku tidak pernah punya hubungan main-main dengan siapapun.Jadi, jika aku memintanya untuk menjadi pilihan hatiku, artinya dialah yang aku mau.Aku tulus mencintainya tanpa balasan atau karena iming-iming harta kekayaan keluarganya. Tapi aku menerimanya apa adanya.
Sejak lahir, mata Indri sudah tidak berguna. Setiap detik dalam hidupnya, Ia hanya berharap mendapatkan berita baik bahwa ada yang ingin mendonorkan matanya kepada dirinya. Namun penantiannya selama 20 tahun tidak kunjung datang. Hampir disetiap kesempatan jika kami bersama, Indri akan mengatakan agar aku tidak meninggalkannya.
“Aku terlalu takut untuk tinggal sendiri, Lan.Selama ini kamu yang selalu ada buat aku.Aku nggak pernah mau mengecewakan kamu.Dan, aku harap kamu juga nggak akan mengecewakan aku.”
Yang aku bisa katakan hanya, “Aku nggak tahu apakah kita ditakdirkan untuk bersama atau tidak.Tapi, satu hal yang aku tahu. Aku akan menyayangimu saat ini dan sampai selamanya. Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Saat itulah aku melihat senyum manis yang aku gemari menghiasi wajahnya yang mungil. Ia tersenyum pada udara, dan… padaku. Pada kesetiaanku.

“Kamu mau ajak aku kemana sih? Kamu tidak repot membantu aku untuk turun dari mobil, menuntun aku berjalan?Me…” aku memotong perkataan Indri.
“Berhenti berbicara seperti itu.Bukan baru satu kali aku mengatakan aku tulus padamu.Cobalah percaya padaku, Ndri.Kita bukan baru sebulan bersama.Melainkan 4 tahun!” tegasku lagi.Selalu dengan halus.
Dan lagi-lagi aku mendapatkan senyum yang aku gemari.Senyum yang selalu membuat hatiku tentram.Senyum yang selalu membuat aku beruntung mendapatkannya.
“So, kita ada dimana sekarang, Harlan Prasetya?”Tanya Indri lagi.
“Ayo kita masuk.”Ajakku.Aku berencana memberikan surprise padanya.Hari ini anniversary hubungan kami yang sudah menginjak tahun ke empat.
“Aaalllaaannn… Jangan buat aku penasaran gini bisa nggak, sih?” rengek Indri.
“Nggak.Hahaha.”Aku menahan tawaku melihat wajahnya yang merah padam karena kesal aku belum memberitahu kemana aku membawanya.Setelah sampai tepat ditempat yang aku inginkan, aku menuntunnya untuk duduk.“Sekarang, ayo duduk.”Kataku pada Indri.
Indri mengikuti instruksiku.Meski sebal, aku melihat kebahagiaan terpancar diwajahnya.Aku yakin Indri bahagia hari ini.Dan aku tidak mau bahagia itu luntur. Aku akan membuat bahagia itu menjadi berharga.
“Sekarang bilang ke aku, Lan.Kita ada dimana?Ayo dong.Jangan manfaatin kekurangan aku ini untuk bikin sesuatu yang aneh-aneh.Aku nggak suka.”Indri mengancamku.
“Aku nggak akan buat yang aneh-aneh kok.Malah taruhan.Kamu pasti akan suka dengan kejutanku.”Kata ku penuh percaya diri.
Saat ini, aku dan kekasihku, Indri berada ditaman mawar punya tanteku.Aku tidak tahu harus mencari tempat romantis dimana lagi. Akhirnya aku menulis status di twitter tempat apa yang tepat untuk memberikan kejutan pada kekasih pada hari ulang tahun masa pacaran kami. Banyak yang memberikan tanggapan dengan membawanya ke taman atau tempat yang dipenuhi bunga. Karena banyak gadis yang suka bunga. Tidak tahu harus kemana, akhirnya aku membujuk tanteku untuk meminjamkan taman mawarnya---sebagai gantinya aku harus memberikannya tas dengan brand terkenal yang ia inginkan. Dolce et Gabana atau yang diberi symbol D&G. Impossible! Tidak terbayang betapa dalamnya kocek yang harus aku gali untuk membeli tas itu---untuk aku dan Indri.
“Trus apa dong?”Tanya Indri halus.
Aku memetik satu bunga didepanku.Aku menggenggam tangan Indri dan membawanya memegang daun mawar itu---tidak mungkin rasanya aku menyuruhnya untuk memegang tangkainya yang penuh dengan duri.Tanpa aku konstruksikan, Indri menarik bunga itu dan menciumnya.
“Mawar?” tebak Indri dengan sangat tepat.
“Untukmu.”Jawabku.
“Alan! Ini… Sungguh romantis! Terima kasih.Terima kasih.”Ungkapnya.Aku merasa melayang.
“Tebak ini mawar apa?” Tanyaku.
“Hmm… Dari baunya sih… Itu… Mawar merah?” Tebak Indri.
“Benar, sayang.Kamu tahu apa arti mawar merah?”Tanyaku lagi.
“Kasih sayang!Cinta!”Tebak Indri lagi, dengan tepat lagi.
“Ya.Kasih sayang dari aku.Cinta dari aku, untuk kamu.”Ucapku sambil mengantar tangannya memegang bagian tangkai dari bunga itu yang tak berduri.Aku menggenggam tangannya.“Kamu tahu, saat ini bagian yang kamu pegang adalah tangkai yang tidak ada durinya.Mawar yang melambangkan cinta aku ini bukan melambangkan hubungan yang berjalan mulus.Ada duri dibagian-bagian tangkai ini.Dan kapan saja, kamu ataupun aku bisa menyentuhnya dan merasakan sakit itu. Artinya, hubungan kita tidak akan berjalan semulus apa yang kita bayangkan, apa yang kita inginkan. Dan ketika sakit itu dapat kita atasi, semua akan baik-baik saja. Jika kita bisa menyelesaikan semuanya dengan baik, hubungan kita akan baik-baik saja. Aku cinta kamu.”Jelasku.
Indri diam seribu bahasa.Aku menatap matanya.Mata yang tak berwarna yang membuatku jatuh hati dan ingin membuatnya bahagia.
“Kenapa kamu diam?Is there something wrong?” Tanyaku penasaran.Indri menggeleng. “Then why?” Tanyaku lagi.
“Aku… aku… speechless, Alan. Itu terlalu… Ahh… Aku terlalu beruntung memilikimu. Aku… Terima kasih, Alan.Terima kasih untuk membuatku merasa beruntung memilikimu.Terima kasih telah membuatku menyadari masih banyak hal yang bisa aku lakukan didunia ini.”Ucap Indri dengan terbata-bata.
“You don’t need to thanks to me. Seribu kali aku mengatakan, itu tugasku.I did it with my whole heart. I love you along my life.” Jawabku singkat.
“Kamu berjanji akan mencintaiku selama-lamanya?” Tanya Indri.
“Tidak.”Jawabku.Indri mengerutkan keningnya. Sebelum dia berbicara, aku berkata, “only vampires could love you forever. Aku manusia.Aku bisa mati.Tapi aku akan mencintaimu sampai ajal menjemputku.”Indri tersenyum.
“Kamu buat aku takut.Sekali lagi terima kasih, Alan.” Ucap Indri.
Aku mengecup halus keningnya kemudian memeluknya.Aku tersenyum bahagia.Tapi tetap ada sesuatu yang mengganjal dihatiku.Aku masih menantikan seseorang.Aku masih mencintainya.
***
Tentu, Lan. Aku pasti akan selalu menunggu kamu. Jangan kecewakan aku ya, Lan
Aku sedih kita harus berpisah dihari istimewa ini.Dihari ulang tahun kamu.
AKU SAYANG KAMU, ALAN!!
Suara itu! Aku tersentak dari tidurku.Aku memperhatikan sisi-sisi kamarku yang kelam. Pintu, televisi, komputer, lemari baju, pintu kamar mandi, play station, aku mencoba mengumpulkan isi-isi mimpiku itu dalam otakku. Nihil.Otak bawah sadarku tidak mengizinkan otak sadarku untuk mengobrak-abriknya.Tapi aku masih ingat suara itu.Suara yang selalu memecah konsentrasiku. Dia… Dia Putri Kecilku.
Tok… tok… tok… tok…
“Masuk!”Teriakku dari dalam kamar.
Pintu kamarku terbuka.Aku melihat mamaku masuk kedalam kamar.
“Pagi, Alan.” Sahut mama dengan lembut.
“Pagi, ma.”Jawabku.Aku heran kenapa pagi-pagi begini mama datang ke kamarku.
“Tebak mama bawa siapa.”Mata usil mama mulai muncul.
“Siapa?”Tanyaku heran.Tidak biasanya pagi-pagi begini mama memberikan surprise padaku.
“Masuk, Grace.” Mama memberi kode untuk masuk pada Grace, kakakku yang berumur 3 tahun lebih tua dariku.
Grace masuk dengan membawa seseorang kedalam kamarku. Indri! Tidak heran lagi.
“Selamat pagi, Alanku.”Ucap Indri dengan senyuman kepadaku. Aku tersenyum kepadanya---meskipun aku yakin sekali ia tidak dapat melihat senyumku yang mekar untuk kedatangannya.
“Selamat pagi, Indri sayang.What are you doing this morning here?” Tanyaku heran.Lebih heran lagi ketika melihat Indri yang tersenyum usil padaku.
Grace membawa Indri mendekat ke tempat tidurku. Mama mengikuti dari belakang. Grace menginstruksikan Indri untuk duduk didekat tempat tidurku. Akupun bangkit dan mendekat pada Indri.
“I do nothing. And this is not morning as you mean, honey.” Senyum usil Indri semakin menjadi-jadi dan aku semakin bingung.
“Maksud kamu apa?” Aku bertanya.Kepada Indri, Grace, dan Mama.Dan seperti telah diperintahkan, aku segera menatap jam dindingku yang tergantung di atas televisi kamarku. Jam 12 lewat 5 menit? Apa yang mereka lakukan dikamarku sepagi ini?
“Happy birthday to you.Happy birthday to you.Happy birthday, happy birthday.Happy birthday to you.”Senyum di bibir Indri mengembang.Ternyata aku belum pulih betul dari mimpiku barusan.Hari ini tanggal 19 Oktober.Ini hari ulang tahunku.Papa masuk kedalam kamarku dengan membawa kue ulang tahun kecil dengan angka 22 diatasnya.Aku meniupnya.Semua orang dikamarku tersenyum.Begitupun dengan Indri---aku tidak yakin apakah Indri benar-benar melihatku meniup lilinnya.
“Happy birthday, Alan.” Mama mengucapkan selamat padaku sambil kemudian memberikan kecupan di pipiku.
“Happy birthday, sayang.Wish you all the best.” Indri memberikan ucapan padaku dan kemudian mencium pipiku.Ia memeluku. Aku memeluknya dengan kasih.Aku membisikkan terima kasihku ditelinganya. Aku bisa merasakan ia tersenyum.
“Happy birthday, Lan.Wish you all the bestlah. Makin sayang sama Indri ya.” Grace memberikan salam padaku. Ketika Ia menyebut nama Indri, ia melirik Indri. Indri tersenyum sambil memamerkan gigi-giginya.
“Bisa aja lo ah.Thanks ya.” Jawabku. Grace mengangkat keningnya dan kemudian memamerkan cengirannya.
Papa yang sedari tadi berdiri didekat mama meletakkan kue didekat tempat tidurku dan kemudian memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku.Aku memeluknya.Tidak biasa papa bertingkah seperti ini.Papa kemudian melepaskan pelukannya dengan mata berkaca-kaca.It’s kind a weird.
“Mama udah nyiapin makanan dibawah. Ayok dimakan.”Ajak Mama.
“Mama kayak nggak tahu aja deh. Liat nih jam berapa!” Godaku.
Semua orang dikamarku melihat kearah jam didinding---kecuali Indri tentunya. Mama terlihat menahan tawa.
“Alan… Apaan sih?Nggak ngehargain banget. Mama kan udah nyiapin susah-susah. Masa nggak dihargain sih?”Indri mengambek.
“Ya udah, ya udah. Yuk.” Ajakku.Spontan semua langsung bergerak.Indri tentu menunggu untuk dituntun.Aku menggandeng tangan Indri dengan tulus.Indri tersenyum bahagia.
Ruang makan terasa lengkap dengan dihadiri semua orang yang kusayang.
“Iih… Ma, lengkap banget ya rasanya.Semua anggota keluarga ada disini.Calon anggota keluarga aja udah ada.” Grace menggoda Indri yang sukses membuat senyuman Indri mengembang.
“Grace apaan sih! Stop flirting me!” Indri mengambek kepada Grace.
“Iih emang beneran kan? Indri emang calon anggota keluarga baru, kan? Siapa juga yang nggak tahu.” Goda Grace lagi.
“Iya, Indri. Kamu nih emang deh. Kamu nggak usah malu-malu lagi sama mama sama papa. Nggak lama lagi juga kamu akan segera sering duduk disini makan dengan kami.” Sambung mama---mama memang berkata Indri tidak usah panggil tante atau om lagi. Tapi panggil mama dan papa saja.
“Maksud mama?”Aku dan Indri bertanya bersamaan.
“Nggak usah kaget gitu dong, Lan.Calm down.” Sahut mama.
“Ya trus maksud mama tuh apa?” Tanyaku semakin penasaran.Aku juga mellihat raut penasaran diwajah Indri.
“Papa dan mama berniat melamar Indri.”Jawab papa dengan singkat, padat, dan jelas.Melamar? Itu tandanya aku akan segera menikah dengan Indri. Aku akan hidup bahagia dengan Indri. Selamanya!
“Papa, papa serius?” Tanya Indri.
“Iya, Indri. Tentu! Papa dan mama sudah memikirkannya dengan sangat matang.”Jawab papa yang menurutku merupakan jawaban yang terlalu teramat jelas.
“Alan!” Indri berseru padaku.Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung menggenggam tangannya.Aku tahu dia bahagia atas berita ini.Aku tahu itu dari matanya. Aku turut merasakan kebahagiaan yang sama dengannya. Sebentar lagi aku bisa lebih membahagiakan Indri. “Alan?” Suara Indri kali ini terdengar sedikit ragu. Oh! Mungkin dia heran mengapa aku langsung menggenggam tangannya tanpa berkata-kata.Oh dear! Seandainya kekasihku ini bisa melihat bagaimana aku bahagia mengetahuinya. Kebahagiaanku tentu akan terasa lengkap.
“Iya, sayang.Aku tahu.Aku bahagia.”Bisikku ditelinganya. Aku membisikkannya karena yakin Grace akan segera menggodai kami.
“Ciye… Yang udah mo marriednih ye… Pake bisik-bisikkan segala lagi. Suit… Suit…” Dan dugaanku tidak salah. Belum semenit aku membisikkan kebahagiaanku pada Indri, Grace sudah mengeluakan godaannya yang membuat Indri langsung tersipu.
“Grace. Kamu juga dong bawa siapa itu laki-laki yang pernah kamu kenalkan ke mama dan papa?Revo?Rivo?”Balas papa.Itu sudah sedikit membalaskan dendamku.
“Revy, Pa.” Jawab Grace malu-malu. Kakakku satu-satunya ini memang belum pernah memperkenalkan pilihan hatinya kepada mama dan papa.Ya, baru sekali sih.Itu juga katanya cuma mau ngobrol saja dan belum resmi pacaran meskipun aku tidak yakin dengan alasannya yang tidak masuk akal itu karena mereka terlalu dekat.
“Iya. Revy! Ajak dia juga dong.Sekali-sekali dinner bareng kita. Supaya papa juga bisa kenal dia lebih dekat.” Ledek papa lagi.
“Papa! Udah ah… Grace lagi nggak mau digodain gini.” Grace mengambek dengan senyuman kecil menghiasi wajah kuning langsatnya itu.
“Makanya jangan ngeledek kalo nggak mau diledek!”Balas ku. Grace tersenyum kecut. Langsung kualihkan pandanganku pada kekasihku yang tangannya masih berada dalam genggamanku.Aku masih melihat raut wajah bahagia terpancar disana.Aku tak bisa memungkirinya.Indri sangat mencintaiku dan bahkan terlalu mencintaiku.Aku tidak pernah tega membiarkan senyum bahagia itu pudar.Terpikir dibenakku sedikitpun tidak pernah.Bahwa ternyata hatikupun terlalu mencintainya dan tak ingin melepasnya.Ganjalan kembali bertumbuh dihatiku.
***
Setelah mengantar Indri pulang kerumahnya pagi itu, aku kembali masuk kedalam tempat tidurku. Pikiranku sudah tersusun dengan baik setelah surprise yang diberikan Indri, mama, papa dan Grace tadi. Kebahagiaan menyelimuti otakku. Kebahagiaan yang akan terwujud, senyum indah diwajah Indri… Aku bisa membayangkan semua kebahagiaan yang akan terwujud antara aku dan Indri nanti, sebelum ingatan itu datang menyerang kebahagiaanku. Keresahan memanipulasi pikiranku.
Aku sadar. Suara itu! Suara yang menjerit berkata menyayangiku 15 tahun yang lalu. Suara Putri Kecilku. Erika. Tiba-tiba kerinduan menghampiriku. Apakah Erika tahu aku akan segera menikahi Indri, kekasihku? Tahukah dia? Kalimat terakhir yang diucapkan Erika padaku 15 tahun lalu adalah bahwa ia menyayangiku. Masihkah dia? Lalu… Sedang apa dia sekarang? Apakah dia juga seperti aku?Aku yang merindukannya?Dua kemungkinan menghantuiku. Kemungkinan ia telah mendapatkan belahan jiwa yang sesungguhnya yang membuatnya melupakanku dan tidak merindukanku sama sekali, dan kemungkinan bahwa sampai saat ini Ia masih merindukan aku dan terus berusaha menemuiku. Ah… Ingin rasanya aku menemuinya.Memeluknya.Melepas rinduku selama 15 tahun terakhir. Sisi lain hatiku menolak! Aku terlalu takut menemui Erika. Tidak mungkin aku menemuinya untuk memberitahu aku akan segera menikah. Mungkin saja Ia akan segera melemparku. Menendangku.Membunuhku. Dan mungkin menggerogoti otaknya agar tak akan pernah memikirkan aku lagi. Ah… Terlalu sulit untukku.Maafkan aku, Erika.
Kakiku terayun menuruni tempat tidur.Menyusuri sudut kamarku.Membuka lemari pakaianku.Aku bingung.Apa yang aku lakukan? Otakku bekerja dengan keras.Memacu segala otot-otot badanku untuk membongkar lemari pakaianku.Kulitku menyentuh sebuah permukaan.Halus dan dingin.Kali ini aku merasa otakku tidak memprogram seluruh bagian tubuhku lagi.Kali ini aku yang ambil alih.Aku menarik benda tersebut.Sebuah kotak berbentuk persegi dengan motif bunga cerah menghiasinya disertai dengan pita berwarna merah jambu muda. Pemberian sang Putri Kecilku, Erika. Terlalu jahat aku ini bila aku melupakan pemberian ini.
Aku sedih kita harus berpisah dihari istimewa ini.Dihari ulang tahun kamu.Maaf, aku hanya punya ini untukmu.Aku harap kamu suka.
Ya.Mungkin aku memang terlalu jahat jika melupakan pemberian ini.Tapi aku juga merasa terlalu sakit untuk mengenang hal itu.Aku mendapati diriku yang tersungkur dilantai bersandar dilemariku.Aku tak tahu kenapa.Tapi sebagai seorang laki-laki, aku merasa aku terlalu cengeng.Perlahan aku kembali mengintip bingkisan tersebut.Sebuah foto.Yang pertama aku lihat adalah sebuah foto.Foto aku dan Erika.Rasa rinduku berkurang sedikit ketika aku memperhatikan senyumnya dan mata coklatnya yang terlihat jelas difoto ini.Ya.Foto ini memang masih terlalu bagus untuk foto yang telah didiamkan selama 15 tahun.Aku melihat aku menggandeng tangan Erika. Aku melihat aku adalah seorang anak berusia 6 tahun yang sungguh bahagia. Namun tak sebahagia itu lagi ketika aku harus berpisah dan tersakiti setiap kali mengingat akan hal itu. Terselip sebuah kertas di dalam kotak itu sebelum aku mengambil tape recorder yang ada disitu. Sungguh aku lupa akan apa yang tertulis dalam kertas itu. Dan aku lupa tentang apa yang terekam dalam tape recorder itu. Teganya aku, batinku.
Alan, ini foto kita berdua waktu kamu datang kerumahku untuk mengadopsi salah satu kelinciku tapi mamaku tidak mengizinkanmu. Sebagai gantinya, mama mengambil foto kita berdua. Aku memberikan yang satu ini untukmu agar kamu tidak akan pernah lupa masa-masa kita ketika kita bersama meskipun kita terpisah jauh (Jakarta dan Manado sungguh jauh untukku, Alan). Aku punya beberapa lagi.Akan aku bagikan padamu lagi jika kita bertemu. Aku yakin kok kita akan bertemu lagi. Kamu kan udah janji akan kembali untuk aku. Kalau begitu, semoga hidupmu bahagia ya, Alan. Dan jangan pernah lupakan aku.Rindukan aku disetiap saat. Aku akan selalu merindukanmu. Putri Kecilmu, Erika.
ERIKA!!! Aku mungkin akan selalu merindukanmu disetiap helaan nafasku! Namun hatiku telah terbagi. Aku telah memiliki orang lain. Aku sangat mencintainya.Tapi, kau harus tahu.Aku juga… sangat mencintai… dirimu.Apa? Apa yang aku pikirkan? Apa yang aku rasakan? Tidak! Tidak!
Setelah itu aku tidak berniat untuk mendengarkan suara yang mungkin masih terekam dalam tape recorder itu.Namun rasa rinduku lebih besar dari itu.Aku mengambilnya.Mulai mengaktifkannya. Ajaib! Barang itu ternyata masih berguna.
Halo Alan! Kamu mau pergi ya?Kamu kok jahat banget sih mau ninggalin aku sendiri disini?Aku tuh pasti bakalan merindukan kamu.Aku ingin meminta mama dan papamu untuk tetap membiarkanmu tinggal disini. Tapi… Ya, aku nggak bisa. Aku tahu ini juga demi masa depan kamu. Ini aku persembahkan sebuah lagu buat kamu.Tapi maaf ya.Ini belum selesai.Aku dikejar waktu. Terlalu susah untuk mendapatkan kata-kata dan melodi untuk diberikan kepada kamu. Tapi aku harap kamu suka.
Aku ingat! Aku ingat Erika yang begitu terobsesi untuk menjadi seorang penyanyi.Sejak umur 3 tahun dia sudah belajar menyanyi dan bermaini piano dari Om-nya.Suaranya merdu.Tidak terbayang betapa merdunya suaranya saat ini.Pasti lebih merdu dari sebelum aku meinggalkannya.Aku kembali sakit hati.Sebaiknya aku melanjutkan rekaman Erika itu.
“Sakit. Itu yang aku rasakan, ketika kau harus meninggalkanku.
Aku takut kau akan melupakanku. Aku terlanjur sayang padamu.
Akankah kita bersama lagi?Aku berdoa pada Tuhan.
Semoga kita tak berakhir sampai disini.
Oh Tuhan bantu aku menahan perasaan ini.
Oh Tuhan buat dia selalu mengingatku.
Karena aku terlanjur sayang.Karena aku terlanjur cinta.”
Itu lagu aku, Lan. Semoga kamu suka.Jangan pernah lupakan aku, ya.Aku sayang kamu.
Nyanyiannya membuat aku melamun.Sungguh seperti sebuah suara seorang peri.Nyanyiannya membuat aku tidak percaya bahwa yang menyanyikan itu adalah seorang gadis kecil berumur 6 tahun.Aku sungguh merindukannya.
Dan mungkin rindu itulah yang membuat butiran-butiran air mata meluncur dari mataku.Aku membiarkan air mata rindu itu meluncur.Aku tidak peduli.Aku ingin aku menangis.Dan aku ingin Erika melihat aku menangis karena merindukannya. Terlalu merindukannya sampai aku terlalu terbawa akan sakit hatiku. Sakit hati apa yang kurasakan? Sakit hati karena terbawa rindu yang mendalam? Ataukah… Sakit hati karena… aku… menduakannya?Belakangan aku menyadari aku telah berkhianat.Berkhianat kepada Erika, cinta sejatiku. Dan Indri, belahan jiwaku.
***
Disinilah aku.Diruang keluarga bersama Indri dan Grace. Kami sedang membicarakan tanggal yang bagus untuk pelamaran. Sampai kemudian handphone Indri berbunyi.Indri memegang tanganku.Aku tahu.Ia memberikan instruksi untukku untuk mengangkatkan handphonenya.
“Handphonenya ditaruh dimana, Ndri?” Tanyaku.
“Di tas, Lan.” Aku segera membuka tas Indri dan menemukan handphonenya yang sedang mati menyala. Aku mengangkatkannya untuk Indri dan kemudian menyerahkan kepada Indri.
“Hallo?” Indri memulai pembicaraan via telepon. Aku dan Grace tentulah memperhatikan Indri yang sedang berbicara diteleponnya karena pembicaraan kami terpotong akibat dering telepon itu.
“Oh mama.Indri lagi dirumah Alan, Ma.Tadi sopir mama yang anterin Indri. Ada apa, Ma?” …… “Oh ya?Terus? Ada kabar?” …… “Hah? 90%? Beneran, Ma? Mama nggak lagi pengen bikin Indri seneng aja kan, Ma?” …… “Jadi mama beneran?Ya udah. Indri langsung pulang sekarang terus kita sama-sama kesana, ya?” …… “Iya, Ma. Iya.Makasih ya, Ma. Dadah…” Indri mengakhiri percakapannya dengan mamanya.Raut wajahnya ceria.Lebih ceria dari yang sering aku lihat.
“Ada apa, Ndri?” Tanya aku penasaran.
“Alan, Grace, tahu nggak mama tadi telpon aku trus bilang apa?” Tanya Indri balik padaku dan Grace.Sepertinya dia memang ingin memberikan semacam kejutan.
“Nggak tahu.” Jawab Grace.
“Trus emangnya ada apa, Ndri? Jawab aku!” Penasaranku bertambah.
“Tadi katanya dokter mata aku telpon mama dan mama bilang ada kemungkinan donor mata sekitar 90% buat aku. Artinya ada kemungkinan besar aku akan segera bisa melihat, Lan! Kemungkinan besar aku bisa melihat wajah kamu! Wajah mama aku! Wajah Grace! Wajah semua orang yang aku sayang!” Jelas Indri. Jelas sekali kebahagiaan yang tergambar diwajahnya.Indri menggenggam erat tanganku.Aku mengelus pipinya.
Ini masih terasa seperti mimpi. Kekasihku yang tidak bisa melihat sebentar lagi akan mendapatkan donor mata dari seseorang yang baik hati. Sekali lagi aku mendapati diriku speechless. Aku menyaksikan Grace dan Indri yang sedang berpelukan saking bahagianya.
“Kita harus segera kasih tahu hal ini ke mama sama papa aku, Ndri.” Sahut Grace yang juga bahagia mengetahui hal itu.
“Iya, Grace. Aku senang sekali.” Jawab Indri. Menyadari aku yang terdiam, Indri kemudian memanggil namaku seperti biasanya. “Alan?”
“I’m here, honey.” Jawabku.Masih seperti bermimpi.
“Kamu tidak senang, Alan?” Tanya Indri yang ragu.
“Mana mungkin aku tidak senang, sayang? Tentu aku bahagia! Karena sebentar lagi kamu akan bisa melihat wajah bahagia yang akan aku tunjukkan ke kamu ketika aku bahagia. Dan sebentar lagi kamu akan melihat kasih sayang aku yang tulus dan dalam ke kamu! Tentu aku bahagia setelah mendengar berita ini, sayang.” Jawabku saking bersemangatnya.
Indri tersenyum lebar.Aku memeluknya.Aku langsung bisa merasakan kebahagiaan dihati Indri.
Tak lama setelah itu, Grace segera menghubungi mama dan papa. Mereka juga senang akan hal ini.
***
Setelah bicara dengan orang tua Indri, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu dengan pihak calon pendonor mata untuk Indri.Kami berjanji untuk bertemu ditempat yang telah ditentukan.Kebahagiaan menyelimuti hati masing-masing kami. Aku, Indri, mama, papa, Grace, maupun orang tua Indri. Kami bersama-sama pergi ke tempat yang telah ditentukan untuk bertemu dengan pihak dari sang pendonor mata.
Sepanjang perjalanan, aku melihat kebahagiaan diwajah Indri.Sungguh kesempurnaan yang luar biasa.
Setibanya kami di tempat yang telah ditentukan itu, kami semua merasa deg-degan. Tidak ada diantara kami yang mengetahui apa yang akan terjadi sebentar.
Kami melihat pihak dari pendonor mata telah duduk menunggu didalam tempat itu.Rasa deg-degan semakin menjadi-jadi.Aku bahkan merasa tangan Indri mulai berkeringat saking gugupnya.
“Selamat siang.”Ucap mamanya Indri kepada kepada pihak pendonor mata itu.Ada 2 orang.Seorang bapak dan seorang ibu.
“Selamat siang.” Sang Ibu membalikkan badan untuk membalas salam dari mamanya Indri.
Aku segera terserang kegelisahan.Aku kenal ibu itu.Bukan kenal. Namun… Sangat mengenalnya.Potongan-potongan ingatan masa laluku sedang menyatukan diri sebelum…
“Bu Helen? Apa kabar, Bu? Lama tidak berjumpa.” Mama mendahului ingatanku.
Bu Helen? Itu… Itu nama mamanya Erika!
“Loh? Bu Anne kan? Baik-baik, Bu. Tidak nyangka ya kita bisa bertemu disini.”Jawab Bu Helen itu.Kegelisahan dalam hatiku semakin menjadi-jadi.
“Oh ya. Ibu pihak pendonornya ya?” Tanya mama.
Raut wajah Bu Helen dengan seketika berubah setelah mendengar pertanyaan mama.
“Kalau begitu, kita langsung ke intinya saja, ya?” Tanya papanya Indri dengan segera.
***
Hal ini terasa seperti mimpi! Bukan! Bukan mimpi! Bahkan lebih baik dari itu.Apa? Apa yang lebih baik dari mimpi untuk menghilangkan hal ini? Aku berteriak dalam hati.Tenggorokanku tercekat.Alam sungguh tidak adil.Bukan ini yang aku inginkan.Aku menginginkan kebahagiaan yang sempurna. Bukan duka cita! Aku tidak percaya akan hal ini! Kepalaku serasa ingin pecah.
Setelah selesai melakukan operasi, tentu saja Erika pergi meninggalkan kami semua. Tidak ada orang yang akan mendonorkan matanya bila mereka masih bisa hidup. Namun hidup Erika tinggal di ambang-ambang.Ketika dokter bertanya apakah operasi Erika dan Indri sudah boleh dijalankan, orang tua Erika menyetujui.Mereka berkata, tidak apa-apa.Mereka sudah merelakan Erika dan tidak menyalahkan siapapun.Tidak ada yang perlu disalahkan, katanya.Padahal bila kita tengok kebelakang, akulah yang harusnya disalahkan.
Sekarang, Indri sudah bisa melihat.Indri mengagumi wajahku.Indri begitu bahagia.Akupun bahagia. Namun apa yang harus aku rasakan? Berbahagia ditengah dukacita yang dirasakan keluarga Erika? Aku tak tahu harus merasakan apa. Semuanya terlalu berat untukku.
“Sudahlah, Lan. Relakan saja.”
“Bagaimana bisa, Grace? Erika sudah pergi! Erika sudah pergi untuk selama-lamanya. Dan itu semua karena aku! Aku terlalu tidak bernyali untuk menemuinya! Sementara dia?Dia mengorbankan nyawa demi bertemu denganku. Bodoh! Sungguh bodoh aku ini! Erika sang pendonor mata untuk calon istriku. Aku terlalu bodoh, Grace!”Aku menyesali ketakutanku selama ini yang akhirnya membawa Erika pada akhir hidupnya.Aku terlalu payah. Aku ini… Tidak lain adalah seorang pecundang!
***
Belum bisa menerima kenyataan ini, aku memutuskan untuk bertemu dengan orangtua Erika di Manado.Aku sudah berkata jujur kepada Indri.Dia tidak marah.Dia berkata terima kasih karena sudah mau jujur padanya.Dan aku sungguh merasa lega saat ini.Aku seperti orang bodoh yang mencari penjelasan saat ini.Akupun sudah meminta izin kepada Erika untuk pergi ke Manado selama beberapa hari.Indri mengizinkan.Malah Indri berkata semoga aku segera mendapatkan penjelasannya.Aku sungguh beruntung memiliki Indri.Tapi bisa-bisanya aku menduakannya dengan menyimpan perasaan yang mendalam kepada Erika.
Di Manado, memang tidak susah untuk bertemu dengan orang tua Erika. Aku meminta papanya Erika untuk menceritakan kronologis cerita sampai Erika bisa menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Semenjak kamu pergi meninggalkannya, tiada hari yang Erika habiskan tanpa menceritakan kenangannya bersama kamu.Bahkan sering sekali ceritanya diulang-ulang.Namun kami semua mengerti.Itu demi menghilangkan rasa rindunya yang mendalam itu.Erika bahkan sering menangis dikamarnya sebelum tidur jika mengingat kamu.Om tahu dia terlalu mencintai kamu.Lulus SMA, Erika mengumpulkan tekad untuk menemui kamu.Sambil kuliah, Erika menabung untuk pergi ke Jakarta.3 tahun sudah Erika menabung untuk pergi ke Jakarta, akhirnya semua yang dibutuhkannya untuk mencari kamu didapatkannya.Om dan tante disini hanya bisa mendoakannya agar bisa bertemu dengan kamu secepatnya. Setiap hari dia pasti menelepon om dan tante disini. Dia bercerita tentang apa yang terjadi padanya selama di Jakarta. 4 hari setelah berada di Jakarta, Erika akhirnya mendapatkan alamat kamu setelah datang ke kampus kamu di Jakarta. Erika bahkan menanyai orang-orang di kampus tersebut sampai ke pegawai-pegawai tata usahanya.Pengorbanan Erika tidak sia-sia.Erika berhasil mendapatkan alamat kamu.Erika memang tidak menghafal jalan-jalan di Jakarta sehingga Erika sering tersesat dengan salah naik bus, angkot, bahkan alamat yang dia berikan pada sopir taxi kadang sering salah.Satu kali Erika memutuskan untuk naik ojek.Om tidak tahu persis bagaimana ceritanya. Tapi setahu om motor yang ditumpangi Erika itu oleng. Tapi syukurlah tukang ojek yang mengendarai motor itu masih bisa mengatasinya. Setelah berhasil mengendalikan motornya, tukang ojek tersebut tidak menyadari ada mobil yang melaju cepat kearahnya.
“Tukang ojek yang baru selesai mengendalikan motornya yang oleng bingung harus melakukan apa karena mobil yang melaju didepan mereka juga sangat cepat. Tukang ojek itu membelokkan motor itu sehingga menabrak trotoar. Sialnya, mobil yang juga dalam kecepatan luar biasa itu juga membelokkan mobilnya kearah yang sama dengan yang dibelokkan ojek itu. Erika yang awalnya tidak terlalu parah, setelah disambung oleh tabrakan mobil langsung terlempar jauh.Syukurlah Erika masih bisa diselamatkan dan masih bisa bertahan selama beberapa hari walau hanya dalam keadaan koma.Om dan tante memang menyesali Erika yang begitu bersemangat untuk menemui kamu. Dan jujur om juga waktu itu sempat punya perasaan untuk menyalahkan kamu. Namun semenjak tahu kamu adalah salah satu pihak penerima donor mata Erika, apa boleh buat? Semua sudah terjadi.Tidak ada yang perlu disesali dan tidak ada yang perlu disalahkan.Om yakin Erika senang karena akhirnya bisa membahagiakan kamu lewat calon istri kamu.”
Aku menyimak cerita papanya Erika dengan setengah tidak percaya.Erika begitu berkorban untuk menemuiku.Sementara aku malah duduk diam dirumah.Bodohnya aku ini.Menyadari aku belum merespon apa-apa dari ceritanya, papanya Erika melanjutkan.
“Setahu om Erika sering menciptakan lagu dan bahkan menyanyikan lagu untuk kamu.Kalau tidak salah ada dikamarnya.Sebentar ya Om ambilkan.”
Aku menunggu dengan hati gemetar.Masih merasa ini semua mimpi.Papanya Erika kembali dengan sebuah tape recorder dan sebuah buku ditangannya.Tape recorder itu mengingatkan aku pada hadiah pemberian Erika waktu aku berulang tahun yang ke 6 dulu.Aku mengambil kedua barang itu.
“Boleh saya memiliki barang ini, Om?” Tanyaku.
“Tentu.Silahkan bawa saja. Karena mungkin itu satu-satunya kenang-kenangan dari Erika.” Jawab papanya Erika.
Mungkin papanya lupa atau apa namun Erika meninggalkan matanya untuk kebahagiaanku.
“Kalau begitu terima kasih banyak, om.Saya harus segera kembali ke Jakarta.Saya permisi dulu.Sekali lagi terima kasih banyak, om.”
“Ya.Silahkan. Hati-hati dijalan, Alan.” Jawab papanya Erika.
Aku berjalan dengan kehampaan.Masih dengan pengecapan untuk aku sebagai orang yang bodoh dan tak bernyali.
***
“Sungguh, Alan. Ini sungguh tidak apa-apa untuk aku.Aku sudah mengatakannya berulang kali padamu.Aku malah berterima kasih karena kamu sudah mau jujur padaku.Aku tidak menyalahkan kamu sedikitpun, Alan.Trust me!” Kata Indri untuk meyakinkan aku.
Aku hanya bisa tersenyum kecil.Hatiku belum terobati.Masih ada yang mengganjal.Saat ini, Indri sudah bisa melihat. Indri sudah bisa melihatku yang akan menjadi suaminya kelak. Aku bahagia akan itu. Indri sungguh beruntung memiliki mata itu.Namun dibalik itu semua aku masih sungguh-sungguh menyesal pernah menyembunyikan sesuatu dari dia. Namun hatinya begitu tulus setulus malaikat.Dia bahkan menerima aku yang telah menduakannya.Alasannya, aku menduakannya untuk cinta masa kecilnya. Dan katanya Ia yakin cinta sejatinya akan datang padanya dengan sendirinya. Jika memang bukan aku, seseorang yang lebih baik pasti akan menemaninya satu saat nanti. Aku bangga pada Indri.Dan tentunya semakin mencintainya. Ohh Indri…
***
DIARY ERIKA
“Alan memang sudah meninggalkan aku.Tapi aku tidak boleh menyerah.Aku akan tetap berusaha untuk menemuinya bagaimanapun itu.”
“Iya, Erika! Teruslah menabung untuk cintamu! Kamu harus temui Alan. Kamu tidak akan menemui cinta sejati kamu jika kamu tidak mau berusaha. Teruslah berusaha, Erika!”
“Tabunganku hampir cukup untuk ke Jakarta! Tekadku sudah bulat! Alan, I’m coming ”
“Aku sudah diJakarta saat ini. Aku akan terus mencari Alan. Aku tidak akan menyerah hanya karena hal sepele seperti ini.”
“Susah sekali mendapatkan alamat Alan. Tapi aku akan tetap berusaha. Yeah!”
“I got it! I got it! Akhirnya aku dapetin alamat Alan juga. Aku harus segera kesana! Sekarang juga!”
LAGU-LAGU ERIKA DALAM TAPE RECORDER
“When you’re gone, the pieces of my heart are missing you
When you’re gone, the face I came to know is missing to you
When you’re gone, the words I need to hear to always get me through the day
And make it okay, I miss you”

“You, me, we’re face to face but we don’t see I to eye
Like fire and rain… You can drive me insane…
But I can’t still mad at you for anything…
Like venus and mars… We’re like different stars…
You’re the harmony to every song I sing…
And I wouldn’t change a thing”
***
Aku menyadari cinta Erika dan Indri yang begitu besar untukku.Dan seharusnya mereka juga menyadari betapa besar cintaku pada mereka. Merasa tidak adil karena meduakan belahan jiwaku, Indri, dan sulit jika mengingat cinta sejatiku, Erika. Aku tidak dapat membagi hatiku.Sehingga harus ada yang terkorbankan. Aku tidak pernah menyangka Erika yang akan pergi. Kupikir, akulah yang akan meninggalkan dunia ini. Tapi aku akhirnya sadar dua hati akan patah bila aku yang pergi. Sekarang, dengan keadaan yang seperti ini aku hanya bisa mengenang Erika dan melanjutkan kehidupan bahagiaku yang sempurna dengan Indri.Indri bisa melihat sekarang.Melihat dengan mata Erika.Dengan matanya yang berwarna coklat.Aku merasa sempurna.Karena aku bisa memiliki Indri yang selalu ingin kubahagiakan, dengan mata Erika padanya.Aku sering bertanya apakah Indri cemburu.Namun Indrilah yang menyadarkan aku.Inilah satu-satunya kenangan berharga dari Erika untukku.Jadi, selama itu membuatku bahagia, mengapa Indri harus cemburu?Indri sungguh perhatian.Egois? Mungkin! Tapi aku tak merasakannya. Aku rasa aku bukan orang yang egois! Karena, orang yang seharusnya mengatakan aku egois tidak merasakan demikian.So, this is my paradise. Erika, I still see your love there. In “Indri”’s eyes. Thank you. I miss you.
--- SELESAI ---

Disusun oleh: Yurike Kaunang
Kelas: IX.I

0 komentar:

Posting Komentar