Selasa, 12 April 2011

Sweet Story in VELOVEIA (created by Virgina Datu)

SWEET STORY IN “VELOVEIA”

“Aku nggak mau di atur – atur kayak gini. Aku tahu kamu tuh kakak kelas aku, Brave. Tapi bukan berarti kamu tuh berhak untuk ngatur – ngatur aku.”, omel Georgia. Itulah kata – kata yang selalu di ucapkan oleh Georgia kepada Brave, kakak kelasnya sekaligus sahabatnya itu, ketika Brave menegur Georgia.
Georgia adalah seorang siswi kelas 2 SMA. Sedangkan Brave adalah siswa kelas 3 SMA. Persahabatan mereka dimulai beberapa tahun lalu saat Brave pindah dari New York ke sebuah SMP, tempat di mana Georgia bersekolah yang pada saat itu Georgia pun baru kelas 1 SMP. Brave masuk ke sekolah itu dengan tampangnya yang cool. Awalnya dia di idolakan oleh banyak wanita. Karena dia adalah seorang bule blasteran America-Spanyol-Indonesia. Banyak wanita di SMP itu yang tergila – gila padanya. Terutama siswi sekelasnya yaitu kelas 2a.
Namun, semua berubah drastis ketika mereka mengetahui bahwa ternyata Brave tidak tahu bahasa Indonesia. Tidak ada yang mau berteman dengannya karena omongan yang di katakan Brave tidak di mengerti oleh mereka. Mereka hanya mengerti sebagian yang di katakan oleh Brave. Kadang kala, mereka salah mengerti dengan apa yang di katakan oleh Brave. Akan tetapi, Brave sangat beruntung karena ia mempunyai adik kelas yang juga blasteran Amerika-Indonesia yang juga pandai berbahasa Inggris. Dia adalah Georgia. Cewek yang di mata semua siswa di SMP itu paling keren, paling cantik, dan paling perfect (menurut teman-temannya). Akan tetapi, Georgia mempunyai satu kelemahan, yaitu otaknya pas-pasan.
Brave kemudian berteman dengan Georgia. Setiap hari, mereka berdua makan bersama di kantin. Dan ketika istirahat, mereka selalu bercerita tentang kehidupan mereka berdua, tentang kelebihan dan kekurangan mereka berdua. Georgia mengajarkan bahasa Indonesia kepada Brave. Kemudian mereka bersahabat sampai saat ini. Sampai mereka kelas 2 dan 3 SMA.
***
Setiap hari, Brave menjemput Georgia dengan mobil Jaguar-nya untuk kesekolah bersama. Ketika pulang sekolah, Brave dan Georgia selalu pergi ke rumah pohon mereka yang mereka buat dan mereka design khusus untuk mereka berdua. Rumah pohon itu di cat warna hitam dan putih. Hitam adalah warna kesukaan Brave, dan putih adalah warna kesukaan Georgia. Mereka menamai rumah pohon itu Veloveia (di baca Velevia) yang berarti “Brave love Georgia”.
Hari demi hari mereka jalani bersama. Akan tetapi, ada rasa lain yang mulai muncul di hati Georgia. Georgia ternyata mencintai Brave. Akan tetapi, Brave hanya menganggapnya sebagai sahabat. Padahal, Georgia sangat mencintai Brave. Georgia selalu memberikan perhatiannya yang penuh untuk Brave.
Ketika akan ke sekolah, tiba – tiba dada Georgia terasa sakit. “Emm, Brave mungkin kamu saja yang kesekolah.”, kata Georgia.
“Memangnya ada apa denganmu? Apakah kamu sakit?”, Brave balik bertanya kepada Georgia.
“Oh, no problem. Aku hanya kurang enak badan saja. Dadaku terasa agak sakit”, jawab Georgia sambil menahan rasa sakit di dadanya.
“Ya sudah. Kamu istirahat dulu di rumah. Biar aku saja yang kesekolah. Cepat sembuh yah”.
Georgia kemudian masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu, Brave berangkat ke sekolah sendirian tanpa Georgia. Karena khawatir akan kesehatan dirinya, Georgia memeriksakan dirinya ke dokter.
“Dok, bagaimana keadaan saya?”, tanya Georgia dengan lemas.
“Anda baik – baik saja. Akan tetapi anda harus meminum obat – obatan yang tertulis di resep yang saya berikan ini”, kata dokter sambil memberikan sebuah resep untuk Georgia.
“Oh, baiklah Dokter. Terima kasih”.
“Nak Georgia, 3 hari lagi jangan lupa kembali ke sini. Saya akan memberikan hasil tes saya terhadap paru – paru kamu”, pintah dokter.
“Oh, baik Dokter. Kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih, Dokter”.
“Yah, sama – sama.”
Siang itu, Brave dan Georgia pergi ke rumah pohon bersama.
“Brave, kamu tahu nggak. Tadi itu aku ke rumah sakit.”
“Rumah Sakit? Ngapain?”
“Aku pergi memeriksa kesehatanku. Soalnya kan tadi pagi dadaku terasa sakit.”
“Lalu kata dokter apa?”
“Kata dokter aku tidak apa – apa. Tapi aku di berikan resep obat – obatan oleh dokter.”
“Lalu udah di ambil obatnya?”
“Udah.”
“Udah di minum?”
“Udah tadi sepulang dari rumah sakit aku langsung makan dan minum obatnya.”
“Oh, baguslah. Biar kamu itu cepat sembuh. Dan kita bisa jalani persahabatan kita sama – sama lagi.”
“Ia, kamu benar. Oh ia, tadi kata dokter tiga hari lagi aku harus balik ke rumah sakit.”
“Ngapain?”
“Katanya untuk ngambil hasil test dokter terhadap paru – paru aku. Kamu temenin aku, yah?”
“Ia, pasti. Aku pasti nemenin kamu. Kamu kan sahabat tersayang aku. Aku sayang banget sama kamu, Georgia. Heheheh, sebagai sahabat!”
“Ia, aku juga sayang banget sama kamu sebagai sahabat aku.”
“Tapi aku juga sayang banget sama kamu lebih dari sahabat.”, sambung Georgia dalam hati.

3 hari kemudian...
Georgia kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan dokter terhadap paru – parunya. Kali ini, Georgia di temani Brave untuk mengambil hasil tes itu. Ketika tiba di rumah sakit, Dokter memberikan hasil tes itu kepada Georgia. Georgia kemudian membuka hasil tes itu.
“Hah? Apa – apaan nih?”, kata Georgia yang kaget melihat hasil test itu.
“Coba aku lihat?”, kata Brave sambil mengambil hasil test itu dari tangan Georgia.
“Aku nggak mau, aku nggak mau.”, teriak Gerogia.
“Hah? Georgia kamu, kamu...”
Ternyata Georgia menderita penyakit astma. Georgia dan Brave pun kaget. Air mata mulai berlinang di pipi Georgia.
“Aku tak percaya ini terjadi padaku. Mengapa semua ini harus terjadi padaku? Apa salahku?”, teriak Georgia. Brave pun memeluk Georgia dengan erat dan menghapus air mata Georgia.
Untuk menghibur Georgia, Brave mengajak Georgia pergi ke rumah pohon Veloveia. Di rumah pohon itu, Georgia menangis. Ia tak kuasa menahan tangis. Kemudian Brave memeluknya sambil menghiburnya.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan, George. Aku pun akan merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan bila aku berada di posisimu saat ini. Akan tetapi, kamu tak boleh bersedih. Jalani saja hidup ini.”, hibur Brave.
“Tapi kenapa semuanya ini terjadi padaku? Kenapa harus aku yang sakit astma? Kenapa nggak orang lain saja yang merasakan ini?”, bentak Georgia.
“Aku tahu, aku tahu. Aku pun dulu pernah merasakan hal yang sama sepertimu ketika tak ada yang mau berteman denganku. Namun aku sangat berterima kasih kepadamu, George. Karena kamu datang di saat yang tepat. Kamu datang di saat aku tak mempunyai teman”, kata Brave sambil memeluk erat Georgia.
“Oleh sebab itu, aku ingin membantumu saat ini. Aku ingin meringankan kesedihanmu dengan menghiburmu setiap saat. Aku tak akan meninggalkan kamu. Aku akan ada untukmu setiap waktu.”, sambung Brave.
“Makasih Brave. Kamu memang sahabatku yang paling baik.”, kata Georgia sambil tersenyum kepada Brave.

2 Tahun Kemudian…
Brave sudah setahun kuliah, sementara Georgia baru saja lulus SMA. Mereka berdua kemudian janjian untuk bertemu di rumah pohon Veloveia. Kali ini, Brave tiba lebih awal di Veloveia. Tak lama kemudian Georgia pun datang.
“Ada apa kamu manggil aku ke sini?”, tanya Georgia.
“Ada yang ingin aku katakan sama kamu.”, jawab Brave dengan muka yang sedikit murung.
“Ada apa, Brave? Apa yang ingin kamu katakan padaku?”, tanya Georgia penasaran.
“Aku akan ke Spanyol. Aku akan ke Barcelona, ke rumah nenekku sekaligus menjadi pembalap di sana. Karena pembalap adalah cita-citaku sejak kecil.”, jawab Brave.
“Aaaa… apa ? Kamu akan pergi? Berarti kamu akan ninggalin aku disini sendiri?”, sambung Georgia.
“Aku nggak ninggalin kamu. Aku..aku hanya….”.
“Aku nggak mau jauh dari kamu. Aku pasti bakal terpenjara dengan sepiku disini kalo kamu nggak ada disini denganku. Aku mohon jangan pergi.”, potong Georgia sambil menangis.
“Maafkan aku, George. Aku nggak bisa. Aku harus ke Barcelona. Aku ingin menjadi pembalap Spanyol dan juga menengok nenekku. Dan kamu nggak bisa melarang aku!”, bentak Brave. Brave kemudian pergi.
Namun Georgia memeluknya dari belakang dan berkata, “Aku cinta kamu. Aku sayang sama kamu. Aku nggak mau lagi memendam perasaan ini lama – lama. Kamu nggak boleh pergi. Kamu lupa sama janji kamu ke aku 2 tahun lalu di Veloveia? Kamu janji ke aku bahwa kamu nggak akan ninggalin aku. Kamu janji ke aku bahwa kamu akan selalu ada untukku setiap waktu.”, kata Georgia sambil menangis dan memeluk Brave dari belakang.
“Kaa…kaaa…kamu cinta sama aku? Tapi kita itu bersahabat, George. Tidak lebih dari itu. Dan tidak akan pernah lebih dari itu!”, bentak Brave sambil melepaskan tangan Georgia yang memeluknya.
“Tapi aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku…”,
“Sekarang aku harus pergi. Kamu nggak usah sedih. Hapus saja air matamu itu.”, potong Brave.
Brave kemudian memberikan sebuah kaset kepada Georgia. Dan kemudian ia pergi. Setelah kepergiannya itu, Brave sudah tak terlihat lagi. Ia telah pergi ke Barcelona, Spanyol.
Sebenarnya Brave juga mempunyai perasaan yang sama kepada Georgia. Namun ia tidak mau mengatakannya kepada Georgia karena ia tidak mau Georgia tambah sedih, karena orang yang sangat ia sayangi yang juga menyayanginya tega pergi meninggalkannya.
Georgia kemudian berlari pulang kerumahnya dan memutar kaset yang di berikan oleh Brave sebelum ia pergi. Ternyata di dalam kaset itu, ada video Brave dan Georgia sedang bernyanyi sebuah lagu. Namun awal lagu itu tidak lengkap karena tidak sempat di rekam. Mereka bernyanyi secara berbalas – balasan.

Brave:
Tetes air mata basahi pipimu di saat kita kan berpisah
Terucapkan janji padamu kasihku takkan kulupakan dirimu
Begitu beratnya kau lepas diriku
Sebut namaku jika kau rindukan aku, aku akan datang….
Georgia dan Brave:
Mungkinkah kita kan selalu bersama
Walau terbentang jarak antara kita
Biarkan ku peluk erat bayangmu tuk melepaskan semua kerinduanku
Georgia:
Kau ku sayang selalu ku damba selamanya di dalam hatiku
Kemudian di akhir video itu terekam suara yaitu, “Aku sayang Brave!”, “Aku juga sayang Georgia!”

Setahun kemudian….

Brave yang berada di Barcelona sangat rindu kepada Georgia. Hari – harinya di sana hanya membalap dan membalap. Karena merasa rindu kepada Georgia, Brave memutuskan untuk pulang ke Indonesia, untuk bertemu dengan Georgia. Brave ternyata masih mencintai Georgia.
Ketika Brave tiba di Indonesia, ia langsung pergi ke rumah Georgia. Namun anehnya, ia tidak mendapati Georgia di rumahnya. Rumah Georgia terlihat sepi. Yang ada hanya satpam yang menjaga dan mengawasi rumah itu.
“Pak, saya boleh bertanya? Kenapa rumah ini terlihat sepi dan kosong?”, tanya Brave kepada satpam itu.
“Maaf tuan. Rumah ini memang sudah kosong sejak 4 bulan yang lalu.”, jawab satpam itu.
“Memangnya kenapa di kosongkan, Pak?”, Brave bertanya balik kepada Satpam rumah itu.
“Oh, pemilik rumah ini pindah karena kejadian 4 bulan yang lalu.”, sambung Satpam.
“Kejadian 4 bulan lalu? Kejadian apa itu Pak?”, Brave penasaran.
“Ia tuan, kejadian 4 bulan yang lalu. Anak perempuan pemilik rumah ini meninggal karena serangan astma”, jawab satpam.
“Hah? Anak perempuan? Serangan astma? Kalau boleh tahu, siapa nama anak itu?”, Brave tambah penasaran.
“Oh. Kalau tidak salah namanya Georgia. kasihan anak itu. Dia di temukan tergeletak di rumah pohon di dekat taman sudah tidak sadarkan diri. Ternyata dia sudah meninggal.”, penjelasan Satpam kepada Brave.
Mendengar semua itu, Brave langsung berlari menuju rumah pohon mereka, Veloveia.
Sesampainya di Veloveia, Brave langsung naik ke atas, ke dalam rumah. Kemudian ia melihat ada tulisan tertulis dengan besar di dinding rumah pohon itu. “AKU CINTA KAMU BRAVE! Aku akan tetap nunggu kamu di sini sampai ajal datang menjemputku. AKU SAYANG KAMU!”. Kemudian Brave mendapatkan sebuah surat di atas meja yang berisi:

Dear Brave,
Brave, aku cinta kamu. Aku sayang kamu. Tapi kamu melarang aku untuk mencintaimu. Karena menurut kamu kita hanya boleh bersahabat. Nggak boleh lebih dari itu. Aku tahu aku salah. Oleh sebab itu aku minta maaf. Brave, jika pada saat kamu membaca surat ini, aku udah nggak ada, aku ingin nitipin cintaku padamu, yah. Thanks yah, Brave. Makasih kamu udah jadi sahabat aku. Walaupun nggak lebih dari itu. Aku tetap sayang kamu.

Salam Sayang,
Georgia
***
Brave sangat menyesal karena ia belum sempat mengatakan pada Georgia bahwa dia juga mencintai Georgia.
Kemudian Brave pergi ke rumah Alice, sahabatnya Georgia. Brave berharap akan mendapatkan keterangan tentang kematiannya Georgia.
“Lice, Georgia pernah curhat atau cerita sesuatu tentang aku nggak?”, tanya Brave dengan sedikit logat bule-nya.
“Pernah. Malahan dia cerita tentang kamu ke aku setiap hari.”
“Kenapa bisa setiap hari?”
“Ya ia. Kan tiap pulang sekolah dia selalu datang ke rumahku. Dan selalu yang dia bicarakan hanyalah kamu.”
“Tentang aku? Selalu tentang aku? Apa katanya?”
“Katanya dia sayang banget sama kamu, tapi kamu nggak pernah menghargai perasaan dia ke kamu, Brave. Kamu melarang dia untuk mencintai kamu, padahal dia itu udah sayang banget sama kamu.”
“Aku juga sebenarnya sayang banget sama Georgia.”
“Kamu juga suka dan sayang sama Georgia? Kenapa kamu nggak bilang ke dia, Brave?”
“Aku...aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Aku takut nantinya hatinya Georgia tambah sakit.”
“Tambah sakit? Malahan kalo kamu jujur dengan perasaan kamu ke Georgia, dia akan lebih senang. Kenapa kamu nggak jujur tentang perasaan kamu ke Georgia sebelum kamu pergi ke Spanyol?”
“Ia, aku tahu. Tapi situasinya beda, Lice. Georgia jujur tentang perasaannya waktu aku akan ke Spanyol. Aku ingin mengatakan hal yang sama tentang perasaanku terhadap Georgia saat itu juga. Tapi...”
“Tapi apa? Kalo kamu jujur sejak awal, pasti semuanya nggak bakalan kayak gini. Bego luh. Payah. Kenapa sih?”
“Aku cuman nggak mau nantinya Georgia berpikir bahwa orang yang menyayanginya tegah meninggalkan dia saat orang itu tahu bahwa Georgia mencintainya.”
“Oh, gitu yah? Maaf ya, Brave. Aku nggak tahu situasinya kayak apa. Maaf yah?
“Lalu, emangnya Georgia meninggal karena apa? Astmanya kambuh?”
“Ia, astmanya kambuh. Tapi pasti nggak bakalan kambuh kalo kamu nggak pergi ke Spanyol!”
“Maksud kamu?”
“Semenjak kepergian kamu ke Spanyol, Georgia jadi murung terus setia hari dan jarang tersenyum. Seminggu setelah kamu pergi, dia juga nyusul kamu ke Spanyol. Tapi, yang dia dapatkan hanyalah...”
“Hanya apa? Jangan buat aku penasaran, Lice.”
“Georgia lihat kamu lagi pelukan sama seorang wanita. Saat itu juga, dia langsung memutuskan untuk mengambil pesawat untuk balik ke Jakarta secepat mungkin.”
“Seorang wanita?”
“Ia! Seorang wanita. Siapa wanita itu?”
“Wanita? Oh... Ia aku ingat. Dia itu kakak aku. Kakak aku di Spanyol. Dia baru saja menikah sebulan yang lalu, dan sekarang lagi honeymoon di Miami.”
“Melihat hal itu, hati Georgia tambah sakit. Dan dia sudah nggak pernah tersenyum lagi. Selepas kamu pergi, aku udah nggak pernah lihat dia senyum lagi. Puas loh?”
“Kenapa jadi aku yang salah?”
“Seneng kamu udah capai cita – cita kamu dengan mengorbankan nyawa orang yang sangat mencintai kamu yang jelas – jelas juga kamu cintai? Bahagia yah?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi semuanya terjadi begitu saja. Kamu mengerti kan?”
“Aku ngerti. Tapi aku masih nggak rela kamu korbankan perasaan dan nyawa sahabat aku demi balapan kamu itu. Nggak rela, tahu nggak!”
“Aku minta maaf.”
“Aku udah maafin kamu.”
“Makasih. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Apa mungkin Georgia juga udah maafin aku?”
“Nggak tahu. Tapi sebelum dia pergi, dia sempat bilang kalo dia bakal bawa semua rasa sakitnya bersamanya. Dan dia juga bilang kalo dia sayang banget sama kamu. Katanya, biarlah sakit hati yang dia bawa, dan rasa cintanya yang dia tinggalkan untuk kamu, Brave.”
“Bisa nggak kamu antar aku ke makamnya Georgia?”
“Bisa, bisa.”
***
“Gerogia, aku sayang banget sama kamu. Aku akan jaga cinta kita untuk kita berdua. Aku nggak bakalan lupain kamu. Kalaupun aku nyusul kamu nanti, yang bakalan aku cari di sana itu kamu, Georgia.
Maafin aku atas semuanya yang terjadi yang udah mengorbankan perasaan kamu, bahkan nyawa kamu. Aku sayang kamu.
Aku akan jaga cinta kita berdua. Cinta kamu dan cinta aku. Demi kamu, aku, dan VELOVEIA”

0 komentar:

Posting Komentar